04 July 2002

Pengertian Ekonomi Islam

1.2. Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi Islam muncul sebagai suatu disiplin ilmu, setelah melalui serangkaian perjuangan yang cukup lama, yang pada awalnya terjadi pesimisme terhadap ekonomi Islam. Terciptanya suatu pandangan bahwa terdapatnya dikotomi antara agama dengan keilmuan –dalam hal ini ilmu ekonomi-. Namun sekarang hal ini sudah mulai terkikis. Dan para ekonom barat pun sudah mulai mengakui eksistensi dari Ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi yang memberi warna kesejukan dalam perekonomian dunia. Dimana ekonomi Islam dapat menjadi suatu sistem ekonomi alternatif, disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dari umat.Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu berbeda antara ahli satu dengan ahli yang lainnya. Hasanuz Zaman dalam bukunya “Economic Function of an Islamic State (1984)” memberikan definisi: “Islamic Economic is the knowledge and applications and rules of the shariah that prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations to Allah and the society”
Sedangkan M N Siddiqi dalam bukunya “Role of State in the Economy (1992)” memberikan definisi: “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”.
Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya “Islam, Economics, and Society (1994)” memberikan rumusan: “Islamic economics is the representative Moslem’s behaviour in a typical moslem society”. Masih banyak lagi para ahli yang memberikan definisi tentang apa itu ekonomi Islam, namun penjelasan lebih menyeluruh tentang apa itu ekonomi Islam tergambar dalam rancang bangun ekonomi Islam. Sehingga ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2. Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang
3. Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4. Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
5. Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Kerangka institusional suatu masyarakat Islam yang diajukan oleh M.N. Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in An Islamic Perspective” adalah:
1. Meskipun kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam diperkenankan suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.
2. Kebebasan untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang berlangsung haruslah persaingan sehat.
3. Usaha gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko yang mungkin timbul diterapkan.
4. Konsultasi dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan publik.
5. Negara bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.

Empat nilai utama yang bisa ditarik adalah
1. Peranan positif dari negara
2. Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki
3. Kesetaraan kewajiban dan hak
4. Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama.

1.3. Rancang Bangun Ekonomi Islam
Dalam pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu mengenai rancang bangun ekonomi Islam, dengan mengetahui rancang bangun ekonomi Islam kita dapat memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh secara singkat tentang ekonomi Islam. Dimana terdiri atas atap, tiang dan landasan. Diharapkan nantinya dengan mengetahui rancang bangun ini, dapat memahami lebih lanjut mengenai apa ekonomi Islam itu sendiri.
Landasan terdiri atas aqidah (tauhid), adil, nubuwwa, khilafah dan ma’ad. Aqidah (tauhid) merupakan konsep Ketuhanan umat Islam terhadap Allah SWT. Dimana dalam pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontologi tauhid, dan hal ini menjadi prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari tauhid yang dipegangnya, sehingga rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang memperlihatkan betapa pentingnya tauhid dalam setiap insan beriman. Oleh karenanya setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Karenanya setiap tindakan yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab akan dapat menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia baik bagi individu itu sendiri maupun bagi orang lain. Sehingga hal ini akan memunculkan tiga asas pokok yang dipegang oleh setiap individu muslim:
1. Dunia dengan segala isinya adalah milik Allah dan berjalan menurut kehendak-Nya
2. Allah adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-Nya
3. Iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu
Adil disini mengandung makna bahwa dalam setiap aktivitas ekonomi yang dijalankan tidak terjadi suatu tindakan yang mendholimi orang lain. Konsep adil ini mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut konteks individual, janganlah dalam akitivitas perekonomiannya ia sampai menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai merugikan orang lain. Oleh karenanya harus terjadi keseimbangan antara keduanya. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh insan beriman haruslah adil, agar tidak ada pihak yang tertindas. Karakter pokok dari nilai keadilan bahwa masyarakat ekonomi haruslah memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syariat Islam. Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan mengandung maksud:
1. Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam, keadilan yang tidak terbatas hanya akan mengakibatkan ketidakserasian di antara pertumbuhan produksi dengan hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan melimpah dan mempertajam pertentangan antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial
2. Keadilan harus ditetapkan di semua fase kegiatan ekonomi. Keadilan dalam produksi dan konsumsi ialah paduan efisiensi dan memberantas pemborosan. Adalah suatu kezaliman dan penindasan apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkan dan bahkan sampai merampas hak orang lain.
Mungkin beberapa orang menganggap bahwa tuntunan dalam ekonomi Islam ini hanya bisa dijalankan oleh Nabi. Anggapan ini keliru, sebab ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad saw pasti benar adanya. Dengan konsep nubuwwa ini, kita dituntut untuk percaya dan yakin bahwa ilmu Allah itu benar adanya dan akan membawa keselamatan dunia dan akhirat. Serta dapat dijalankan oleh seluruh umat manusia dan bukan hanya oleh Nabi saja. Sebab ajaran Nabi Muhammad saw adalah suatu ajaran yang memiliki nilai-nilai universal di dalamnya. Sehingga prinsip-prinsip yang terkandung dalam ekonomi Islam merupakan prinsip-prinsip ekonomi universal yang dapat diterapkan oleh seluruh umat, baik oleh umat Islam maupun umat selain Islam.
Khilafah atau berarti pemimpin, membawa implikasi bahwa pemimpin umat dalam hal ini bisa berarti pemerintah adalah suatu yang kecil namun memegang peranan penting dalam tata kehidupan bermasyarakat. Islam menyuruh kita untuk mematuhi pemimpin selama masih dalam koridor ajaran Islam. Ini berarti negara memegang peranan penting dalam dalam mengatur segenap aktivitas dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi dan aturan tersebut tetap dibutuhkan, namun selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan kata lain, peran negara adalah berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan.
Ma’ad atau return, ini berarti dalam Islam pun membolehkan mengambil keuntungan dalam melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya salah besar yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh mengambil keuntungan. Keuntungan merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu aktivitas ekonomi. Namun yang dilarang dalam Islam adalah mengambil keuntungan yang berlebihan apalagi sampai merugikan orang banyak, misal dengan melakukan penimbunan –untuk menciptakan kelangkaan barang- untuk mendapat harga yang berlipat ganda.
Setelah membahas landasannya, sekarang kita membahas mengenai tiang dari ekonomi Islam, yang terdiri atas multitype ownership (kepemilikan), freedom to act (kebebasan berusaha), dan social justice (kesejahteraan sosial).
Multitype ownership, Islam mengakui jenis-jenis kepemilikan yang beragam. Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan yang diakui hanyalah kepemilikan individu semata yang bebas tanpa batasan. Sedangkan dalam ekonomi sosialis, hanya diakui kepemilikan bersama atau kepemilikan oleh negara, dimana kepemilikan individu tidak diakui dan setiap orang mendapatkan imbal jasa yang sama rata. Dalam Islam kedua-dua kepemilikan diakui berdasarkan batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karenanya Islam mengakui adanya kepemilikan yang bersifat individu, namun tetap ada batasan-batasan syariat yang tidak boleh dilanggar –seperti akumulasi modal yang hanya menumpuk di sekelompok golongan semata-. Kepemilikan individu dalam Islam sangat dijunjung tinggi, akan tetapi tetap ada batasan yang membatasi agar tidak ada pihak lain yang dirugikan karena kepemilikan individu tersebut. Pemilikan dalam ekonomi Islam adalah:
1. Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
2. Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila orang tersebut meninggal harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan Islam
3. Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat hidup orang banyak, sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara.
Economic Freedom, dalam ekonomi Islam setiap manusia bebas melakukan aktivitas ekonomi apa saja, selama aktivitas ekonomi yang dilakukan bukan aktivitas ekonomi yang dilarang dalam kerangka yang Islami. Hal ini berbeda dengan ekonomi kapitalis yang tidak terdapat pembatasan dalam kebebasan beraktivitas, sehingga terjadi kebebasan yang terlalu berlebihan bahkan menyebabkan tertindasnya pihak lain, dalam ekonomi kapitalis berlaku hukum rimba dimana yang terkuatlah yang dapat menguasai semuanya termasuk sumber daya modal dan alam. Hal ini berakibat teraniayanya hak orang lain diakibatkan kebebasan tanpa batasan. Dan tidak juga seperti ekonomi sosialis yang terlalu membatasi kebebasan beraktivitas seseorang, sehingga cenderung menghilangkan kreativitas dan produktivitas umat. Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas ekonomi menyebabkan stagnasi dalam produktivitas.
Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable -bukan karena kebaikan hati kita-. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat berasal dari usaha sendiri secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di dalamnya. Sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya Islam mewajibkan zakat dan voluntary sector (infak, sadaqah, wakaf, dan hibah) agar terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan. Namun pemerataan disini bukan berarti sama rata, sama rasa, melainkan yang sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat adalah salah satu instrumen pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu sistem jaminan sosial di Barat. Selain itu kerjasama (cooperative) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islami versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Kerjasama ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam ekonomi Islam adalah qirad. Qirad adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.
Yang terakhir adalah atap dari rancang bangun ekonomi Islam itu sendiri yaitu akhlak yang menjadi perilaku Islami dalam perekonomian. Atau bisa juga dalam kaitannya dengan ekonomi bisa diartikan sebagai suatu etika yang harus ada dalam setiap aktivitas ekonomi. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup untuk membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun harus dilengkapi dengan akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan sampai merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah. Akhlak yang mulia mampu menuntun umat dalam aktivitas ekonominya tidak merugikan pihak lain, misalnya dengan tidak melakukan gharar, maysir, dan riba. Sebab teori yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuia dengan syariah sama sekali bukan jaminan secara otomatis akan memajukan perekonomian umat. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan tidak adanya transaksi yang bertentangan dengan syariat. Kinerja ekonomi sangat tergantung pada siapa yang ada di belakangnya. Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses dan gagalnya bisnis yang dijalankan.
Dengan melihat pengertian di atas dapat kita tarik beberapa pengertian yaitu: Pertama, Ekonomi Islam sebagai ilmu adalah merupakan landasan dari rancang bangun ini. Kedua, Ekonomi Islam sebagai suatu sistem atau Sistem Ekonomi Islam adalah yang menjadi tiang dari rancang bangun. Dan Ketiga, Ekonomi Islam sebagai suatu perekonomian atau Perekonomian Islam adalah yang kita sebut sebagai atapnya.

1.4. Metodologi Ekonomi Islam
Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuainnya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh.
Suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini, namun pembahasan yang ada tentang ekonomi Islam masih terbatas pada latar belakang hukumnya saja atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai sistem ekonomi.
Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari fiqih Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalah) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut kemudian mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yng berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim. Tidak adanya pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam merupakan salah satu kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam, sehingga seringkali suatu teori ekonomi berubah menjadi pernyataan kembali mengenai hukum Islam. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam pembahasan ekonomi Islam dengan fiqh muamalah adalah menyebabkan terpecah-pecahnya dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan jangka jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi. Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer di satu pihak dan di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.
Namun terdapat dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam, yaitu pertama, bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan aplikasinya, dimana terlalu kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang terdapat pada masa terdahulu dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan teori yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik. Literatur Islam yang ada sekarang mengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode, yaitu metode deduksi dan metode pemikiran retrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.

1.5. Hukum Ekonomi Islam
1. Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Tetapi, hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum ilmu-ilmu pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut: Pertama, ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus mengendalikan banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of Economics, “pada hakikatnya bersifat hipotetik”. Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat bersyarat sebagai berikut “hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)”, yakni kita beranggapan bahwa dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Namun hal itu tidak berarti karena hukum ekonomi bersifat hipotetis, lalu ia tidak nyata dan tidak berguna. Lagipula, semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak hipotetik. Ilmu ekonomi, tidak seperti cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang.
2. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushl fiqh. Dalam buku ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.
a. Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi, terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga dalam setiap penarikan dan pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh seluruh umat manusia.
b. Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, yang pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai sahabat-sahabatnya. Karena itu hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya. Namun kita tidak usah terlalu memperdebatkan antara perbedaan hadits dan sunnah, karena secara substansi keduanya sama. Hadits dan sunnah ini hadir sebagai tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak terdapat di Al-Qur’an.
Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad
c. Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d. Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.

1.6. Perbandingan Paradigma Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi kapitalis sekarang telah semakin mendunia dan mendominasi perekonomian dunia. Karena lebih menjanjikan kemakmuran masyarakat yang merupakan pencapaian tujuan dari setiap sistem perekonomian. Sedangkan sistem ekonomi sosialis menjadi semakin tidak populer, karena beberapa negara yang mempraktikannya justru telah ambruk perekonomiannya, dan terbukti mencapai kemakmuran yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang menganut paham kapitalis. Bila mencermati lebih dalam dengan pikiran yang jernih, sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda dari sistem ekonomi lainnya (konvensional). Mohammad Arif telah membuat suatu perbandingan antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosofic foundations).
1.7. Kesimpulan
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).
Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas dasar (yang terdiri atas: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad), tiang (terdiri atas multitype ownership, freedom to act, dan social justice), dan terakhir adalah atapnya yaitu akhlak.
Sumber hukum Islam yang dipergunakan sebagai metode istinbath terdiri atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih terjadi perbedaan pendapat. Dalam buku ini yang dibahas hanya metode istinbath yang telah disepakati yaitu Al’qur’an, hadits & sunnah, ijma, serta ijtihad & qiyas.


0 comments:

Post a Comment